Kamis, 28 April 2011

REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL"


REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL"

MAKALAH NURANI SOYOMUKTI DALAM BEDAH BUKU "REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL"

Hugo Chavez dan Proses Kreatif-ku:
“Menulis Rakyat yang Berjuang Melawan Penjajahan dan Penindasan”¥


Oleh:
Nurani Soyomukti,
Mantan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember; kini pengurus pusat (PP) Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N).

“Walaupun kami dogmatik, kami tak suka kultus individu. Kami tak mengajar orang-orang kami untuk percaya, melainkan untuk berpikir”.
(FIDEL CASTRO)

Kata-kata itu dikatakan oleh Fidel Castro suatu waktu. Ungkapan itu dimaksudkan untuk menjawab tuduhan-tuduhan dan segala fitnah yang dialamatkan padanya dan pada negerinya yang menempuh jalan alternatif di luar jalan kapitalisme. Sosialisme Kuba seringkali didiskreditkan oleh Amerika Serikat (AS) dan para pendukungnya. Dengan media-media yang dikuasai oleh jaringan kapitalisme globalnya, perjuangan dan capaian rakyat Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro diisolasi dari komunitas internasional. Ditambah dengan propaganda bahwa tidak ada demokrasi di Kuba atau negara sosialis lainnya.
Yang dilakukan Castro adalah sebuah kepemimpinan revolusioner sebagai alternatif dari kepemimpinan elitis dan oligarkis sebagaimana terjadi di negara-negara kapitalis—oligarki modal. Sementara AS dan media propagandanya menyebarkan citra buruk terhadap kepemimpinan Castro, Paus Paulus pemimpin Vatikan yang pernah berkunjung ke Kuba justru terheran-heran tentang apa yang terjadi di negara itu. Sosialisme telah memerankan bangunan kemanusiaan yang besar hingga Kuba telah menjadi negara dengan tingkat melek huruf tertinggi di dunia, pertanian organik ramah lingkungan yang maju, pendidikan gratis dan kesehatan yang memadai.
Bandingkan dengan negeri kita, yang para pemimpinnya justru pengecut menghadapi tekanan/intervensi asing dan hanya tunduk patuh pada pemodal asing: mereka yang oportunis dan pragmatis ini selalu saja menyerahkan kekayaan alam kita yang melimpah untuk dihisap oleh penjajah asing, menyerahkan buruh murah agar kapitalis mendapatkan keuntungan, serta membuka negeri kita sebagai pasar, sehingga masyarakat semakin tergantung dan hanya bisa mengonsumsi—tetapi tidak bisa mencipta (berproduksi dan berkreasi). Lihat saja besaran angaran pendapatan dan belanja negara, semuanya justru habis untuk membayar utang. RAPBN 2006, misalnya, digunakan untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 76,629 triliun atau 2,5% dari PDB, meningkat 0,3% dari APBN 2005. Sedangkan pembayaran cicilan utang pokok luar negeri sebesar 2,1 dari PDB; lebih besar dari alokasi anggaran untuk kesehatan yang besarnya hanya 0,4% dari PDB dan pendidikan 1,4% dari PB.

Berbeda dengan di Kuba yang menggartiskan pendidikan karena anggaran pendidikannya cukup besar, sekitar 8% dari PDB atau 2% di atas anggaran pendidikan yang dianjurkan UNESCO. Peneliti barat masih terheran-heran bagaimana negeri Kuba yang diisolasi dan didiskreditkan AS justru dapat menyaingi tandard pendidikan negara-negara imperialis seperti AS, Kanada, dan Inggris Raya. Dalam bidang kesehatan, di Kuba angka kematian bayi dapat ditekan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran dan harapan hidup meningkat menjadi 75 tahun (di Indonesia harapan hidup pada tingkat 66 tahun). Sekitar 524.000 anak-anak antara 3-9 tahun menapatkan vaksin polio dan dengan jumlah dokter 70.000 orang untuk 12 juta penduduk atau 1 dokter untuk 600 orang (di Indonesia jumlah dokter 34.000 melayani 220 juta penduduk). Jika kpemimpinannya benar, Indonesia dapat melakukan hal yang lebih baik dari pada Kuba.
Apa yang terjadi di Kuba, dicontoh oleh revolusi bolivarian yang dijalankan oleh para aktivis di Venezuela yang dipimpin oleh Hugo Chavez. Keberanian dalam bertindak dan program-program alternatif sebagai jawaban atas kontradiksi pokok dan konkrit yang ada dilakukan oleh Chavez dalam para pendukungnya. Keberaniannya ditunjukkan dengan kemauannya untuk membuat seruan-seruan pada rakyat atas melencengnya pemerintahan yang pro-neoliberalisme dan propaganda berupa jalan apa yang ditempuh. Tipe semacam inilah yang dsebut sebagai pemimpin massa rakyat yang menempatkan dirinya sebagai pelopor perubahan dan pemimpin kesadaran massa. Bahkan, lebih dari itu, Chavez juga berani bertindak: pada tahun 1992 ia secara berani ingin merebut kekuasaan pro-neoliberal dengan cara melakukan kudeta.
Meskipun gagal, kudeta 1992 yang justru mempercepat kesadaran rakyat hingga pada akhirnya berujung pada kemenangannya yang lebih nyata. Dengan program kemandirian nasional dan anti-neoliberal, dengan dukungan riil dari rakyat, pada tahun 1998 ia memenangkan pemilu. Hugo Chavez segera dikenal sebagai presiden pembela rakyat, yang mengentaskan mereka dari kemiskinan, dan bahkan memberdayakannya secara politik. Artinya, kesejahteraan ekonomi dan demokrasi politik dijamin. Kesejahteraan ekonomi ditempuh dengan revolusi kebijakan ekonomi dari kapitalisme menuju sosialisme-kerakyatan.

***
Lalu siapakah yang akan menuliskan apa yang terjadi di Venezuela? Siapa yang menyebarkan adanya ”jalan lain” di luar neoliberalisme (kapitalisme, pasar bebas) yang banyak diamini oleh negara-negara yang secara ekonomi-politik masih terjajah (seperti negara kita)? Pada waktu itu, hingga memasuki tahun 2007, tidak ada yang menuliskan apa yang terjadi di Venezuela secara komprehensif dalam arti membahas konteks historis, kontradiksi, dan subjek gerakan yang mengantarkan Chavez menuju pada ”kepemimpinan alternatif” di era globalisasi neoliberal abad 21 ini. Aku ingin mengangkatnya, menuliskannya...

Dengan semangat dan kerja yang lama dan keras, dengan kesengajaan maupun tidak, bahkan melibatkan dan mengorbankan banyak hal, juga bantuan dari beberapa orang dan lembaga yang (mudah-mudahan tidak merasa) direpotkan, menuliskan sesuatu dalam bentuk buku ini merupakan suatu hal yang monumental dalam hidupku. Sebagaimana muncul spirit tiba-tiba yang menyatu dengan narsisme dan gila publikasi—yang konon melekat pada psike penulis—saat tulisan kita (entah puisi, cerpen, esai, opini, dll) diterbitkan pertama kalinya di media massa, mungkin dapat dikatakan terjadi pula saat buku kita pertama kali diterbitkan.
Tetapi, proses kreatifku melampaui itu semua, ada dinamika psikis, tetapi juga ada (yang dominan) kehendak ideologis—saoal pandangan hidup, soal pilihan, dan soal konsekuensi!
Hasil studi yang kutuangkan dalam buku ini merupakan bagian dari proyek besarku untuk mendokumentasikan gerakan rakyat melawan globalisasi neoliberalisme. Sejak ada gejala perlawanan baru yang berhasil di sebuah kawasan, tepatnya Amerika Latin, aku kembali berusaha melanjutkan usahaku untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa kapitalisme bukanlah ‘akhir sejarah’ sebagaimana dipropagandakan dengan manisnya oleh akademisi Washington, Francis Fukuyama.
Yang aku lanjutkan sebenarnya adalah studi yang dapat dikatakan terlunta-lunta dalam posisiku (waktu itu) sebagai mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional—di sebuah kampus yang tidak dapat dikatakan besar, modern, dan kondusif bagi pengembangan naluri ilmiah-akademik—FISIP Universitas Jember. Mungkin juga karena basis individualku yang agak ‘gaptek’ (gagap teknologi), sehingga kemampuan mencari informasi dan data melalui internet justru berlaku saat aku terpaksa (harus) menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang telah tertunda selama setahun. Studi anti-globalisasi justru dipicu oleh posisiku sebagai “aktivis”—begitu orang-orang menyebutnya.
Pada saat mengerjakan skripsi yang kelar pada awal tahun 2004, sesungguhnya aku masih buta tentang apa yang terjadi di Amerika Latin, setelah Hugo Chavez menang pemilu 1998. Bahkan nama “Hugo Chavez” sama sekali tidak ditemukan dalam skripsiku, pada hal skripsiku juga banyak mengutuk globalisasi neoliberal dan sedikit umpatan emosional terhadap Amerika Serikat (AS)—dan pada waktu itu pemerintahan Chavez juga telah berjalan 5 tahun. Mungkin karena nama Hugo Chavez memang belum banyak dimuat di media—pada hal ia melakukan kebijakan nasionalisasi (anti-neoliberal) pada tahun 2001 saat pembuatan UU Hidrokarbon meresahkan pemodal asing yang sebelumnya menikmati banyak keuntungan dari minyak Venezuela, atau aku yang memang belum begitu peduli.
Dan karena kondisi itu, aku merasa bahwa aku terlambat mengetahui hal-hal yang terjadi di dunia, khususnya Amerika Latin. Setelah dipercaya oleh kawan-kawan untuk duduk di kepengurusan pusat sebuah organisasi anti-globalisasi neoliberal di Jakarta, aku lebih minder lagi atas keterlambatan informasi itu. Ternyata beberapa kawan bahkan pernah beberapa kali pergi ke Venezuela. Dan informasi tentang perkembangan sosial-politik yang terjadi memang menarik, menghenyak karena data-data itu sebenarnya bukti-bukti riil yang mendukung proyek menyerang tesis “akhir sejarah” Fukuyama yang pernah aku lakukan saat menulis skripsi sebagai tugas akhir dulu.

Itulah yang kemudian mendorongku untuk mencari-cari informasi dan ‘berita baik’ tentang tanda-tanda keruntuhan kapitalisme-neoliberalisme, sekaligus menyokong kepercayaan dan analisis bahwa sosialisme sebagai jalan alternatif politik masih viable dan compatible di era modern—dan memang oleh pencetusnya, sosialisme lebih cocok dalam fase masyarakat yang mencapai basis produksi modern, matang, dan dewasa, tidak feodal, barbar, dan tradisional.
Tetapi, mungkin yang kulakukan (dan yang jarang dilakukan kawan-kawanku lainnya) adalah (kemampuan yang kuat untuk) mendokumentasikan data-data itu. Hingga aku, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (meskipun bukan tindakan illegal), banyak melakukan kegiatan menterjemahkan gagasan dan informasi tentang Amerika Latin (meskipun terbatas pada negara-negara yang memenangkan gerakan Kiri, khususnya Hugo Chavez). Seakan aku seperti kembali menjadi mahasiswa yang harus kembali menulis skripsi.
Kemenangan Evo Morales di Bolivia menambah semangatku, lalu belakangan juga Daniel Ortega—dan berita tentang upaya penyatuan alternatif negara-negara yang anti-neoliberalisme dalam ALBA sebagaimana digagas Hugo Chavez, Morales, Fidel Castro, membuat info yang saya geluti semakin semarak dan (tentunya) mengasyikkan.
Apa yang kulakukan ternyata membawa manfaat. Data-data dan informasi, juga gagasan-gagasan itu akhirnya berguna. Beberapa kawan baik di organisasi dan beberapa mahasiswa Hubungan Internasional menghubungiku untuk menggunakan data-data itu untuk menulis tugas mata kuliah dan skripsi. Secara pribadi, terus terang aku tidak mendukung propaganda “hak kepemilikan intelektual” (intellectual property right) yang dicanangkan para pemodal besar: Hasil terjemahan yang kulakukan dan informasi-infomasi itupun dipakai. Di antara mereka ada yang memberikan “sejumlah” materi untuk biaya terjemahan, dan hal itu justru kian menambah amunisi bagiku untuk mencari info yang lebih banyak—waktu yang aku habiskan untuk searching data-data via internet (yang tentu saja dikomersialkan oleh pengusahanya) semakin banyak. Dan dengan internet pula, gerakan anti-globalisasi—melalui penggalian data, korespondensi (via e-mail), dan memasang gagasanku di media (dalam bentuk esai, opini, artikel, resensi buku—semakin mungkin.[1]
Pengakuan tersebut juga sekaligus ingin aku hubungkan dengan fakta bahwa internet masih menjadi satu-satunya teknologi yang paling membantu dalam mengumpulkan informasi yang aku geluti selama ini. Buku-buku tentang Amerika Latin masih jarang, apalagi tentang negara-negaranya yang menempuh jalur anti-kapitalisme dan menerapkan kebijakan kerakyatan (sosialisme) masih sangatlah jarang. Literatur-literatur di Ilmu Hubungan Internasional atau jurusan-jurusan yang ada keterkaitannya dengan sosial, politik, dan pemerintahan juga kekurangan informasi. Seorang kawan yang menjadi dosen/pengajar di Ilmu Hubungan Internasional sebuah universitas negeri yang terkenal di Jakarta, UI, Mas Nur Imam Subono, bahkan mengakui dan mengatakan padaku bahwa kajian Amerika Latin sepertinya diasingkan, dengan cara membatasi literatur-literaturnya (baik sengaja ataupun tidak)—hingga ia sempat tidak tertarik untuk mendalami kajian tentang kawasan itu.

Inilah yang membuat aku agak “bangga” (narsis?) setelah buku pertama yang berjudul “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal” (2007) terbit. Semangat untuk mengumpulkan dan menstrukturkan informasi-informasi dan data-data (tentu saja diramu dalam gagasan) menjadi sebuah buku nampaknya akan menjadi kegiatan yang menarik sebagai aktifitas dalam hidupku—biarlah aku dicap sebagai “sok intelektualis”, “Marxis legal”, atau apapun oleh sebagian orang: aku tetap akan berupaya berperan sebaik mungkin.
Dalam proyek ini, mungkin aku akan menghibur diri dengan menjuluki posisi dan peranku sebagai seorang “dokumentor”. Masalahnya, tujuan utamaku adalah mendokumentasikan tentang apa yang terjadi: bahwa kapitalisme dapat dikalahkan dan digantikan dengan tatanan yang lebih adil; Ada langkah-langkah, strategi-taktik, dan program—tentunya landasan ideologis, watak, dan tindakan—yang bisa dijadikan contoh oleh politisi, intelektual, aktifis, dan siapapun mereka yang menyukai perubahan.
Hakekat kegiatan dokumentasi juga dikaitkan dengan fakta bahwa aku menyebutkan sumber-sumber informasi yang ada, mungkin kesannya seperti format skripsi—tapi maksudku adalah bahwa pembaca bisa mengerti siapa dan apakah penggali informasi tersebut, agar ilmiah, objektif, dan jujur. Dan aku memang keranjingan pada karya ilmiah, bukan sekedar propaganda atau provokasi!!
Hugo Chavez tidak sendirian, karenanya buku yang berjudul “Akhir dari ‘Akhir Sejarah’: Sandinista Mengalahkan Amerika” akan menyusul. Buku kedua ini masih merupakan dokumentasi proses gerakan sebuah organisasi politik yang dalam sejarahnya sangat berperan dalam memimpin perjuangan rakyat di Nikaragua, sebuah negara di kawasan Karibia. Peran Sandinista di negara Nikaragua mengiringi sejarah yang panjang bersama dinamika rakyat berhadapan dengan imperialisme Amerika Serikat dan kapitalisme global. Kemenangan kembali Sandinista di tahun 2006, pada saat gelombang gerakan Kiri semarak, akan menambah warna politik yang cukup berpengaruh. Kemenangannya tentu saja tak lepas dari suasana berlawan yang semakin kental di kawasan ini. Tak salah jika di bagian awal buku ini saya mengambarkan daya sokong perlawanan di kawasan, di negara-negara tetangga Nikaragua. Bangkitnya politik Kiri adalah ancaman bagi kelangsungan kekuasaan liberal rejim-rejim yang ada, yang bisa jadi menunggu waktu dalam hal kerontokannya melawan organisasi-organisasi Kiri yang semakin populer.

Ah, betapa sombongnya di sini jika kukatakan bahwa aku ingin karya-karya tersebut mengisi kekosongan literatur alternatif dalam kajian inernasional/kawasan dan kepolitikan global, terutama bagi mereka yang tertarik dengan gerakan anti-globalisasi. Tetapi kuakui bahwa karya-karyaku bukanlah sumber yang lengkap dan sempurna, dan justru karena itulah aku ingin menyampaikan permintaan maaf apabila masih ada keterbatasan dari proyek ini.
Beberapa waktu lalu, selama beberapa hari, rubrik internasional media massa negara-negara di di muka bumi dihiasi berita tentang kemenangan Cristina Fernandez, perempuan yang pada tahun 1970-an aktif di organisasi Tendensi Revolusioner Argentina. Perempuan ini menang karena pendukung utamanya adalah “kaum papa” di Argentina. “Kemenangan presiden baru Argentina adalah kemenangan seluruh perempuan Amerika Latin,” kata Presiden Venezuela Hugo Chaves.[2] Hugo Chavez termasuk salah satu tokoh presiden tetangga yang pertama kali mengucapkan selamat, selain Lula Da Silva presiden Brazil. Hugo Chavez selama ini memimpin perlawanan terhadap AS dan neoliberalisme di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Fernandez terpilih dan akan menggantikan suaminya yang telah menjadi presiden yang cukup berhasil, juga sama radikalnya dengan Chavez, Morales, Ortega, dan tokoh-tokoh lainnya di kawasan ini. Suaminya adalah Neztor Kirchner yang pada 2005 menyatakan bahwa perjanjian perdagangan bebas (FTAA) adalah kebohongan, dan bahkan ia menolak membayar utang yang selama ini digunakan lembaga imperialis untuk menjerat negaranya. Sulit bagi Fernandez untuk berbeda dalam garis kebijakannya dengan suaminya, apalagi dua hati dan pikiran (Kirchner dan Fernandez sebagai suami-istri) telah terpaut sejak keduanya kuliah bidang Hukum dan menjadi aktivis.

What’s next? Mempelajari kisah-kisah perlawanan—juga kepahlawanan—itu “asyik”: sebagaimana mahasiswa Hubungan Internasional (HI) yang selalu interested untuk mempelajari Negara-negara lain. Menulis kisah-kisah perlawanan itu menarik. Menulis para pemberani menarik—juga untuk mengumpat para pengecut seperti elit-elit negeri kita Indonesia yang, karena neoliberalisme, rakyatnya semakin sengsara. A Luta Continua!

“Revolusi bukanlah Chavez… Revolusi akan terjadi dengan atau tanpa dia. Chavez adalah suara dari rakyat Venezuela, tetapi rakyat Venezuela sendirilah yang akan mengubah Negara ini. Kami mengikuti ide Simon Bolivar dan gerakan proyek Bolivarian di Amerika Latin!!!”
(MERCADO, Seorang aktivis Lingkaran Bolivarian)

Jember, 15 November 2007

¥ Dipropagandakan dalam cara Bedah Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL”, Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) FISIP UNEJ, di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (FISIP UNEJ), Kamis 15 November 2007.
[1] Hal ini sekaligus membuktikan bahwa semakin matang tenaga produktif kapitalis, teknologi kian maju, kapitalisme semakin terancam. (Upaya memajukan tenaga produksi tentu saja tak akan dilakukan oleh kapitalis kalau tidak menguntungkan. Internet adalah produk lama, teknologi perang yang telah digunakan sejak lama, bukan hal baru. Tetapi waktu itu tidak dimassalkan karena masih ada roduk lain yang dapat digunakan untuk mencari keuntungan, belum mengalami titik jenuh. Sekarang internet diluncurkan, di massalkan, awalnya dengan harga mahal, tetapi semakin murah... dan gerakan anti-AS dan anti-kapitalisme justru memanfaatkan teknologi ini).

XANANA “SAUDADES” HO DOUTRINA LOBATO


.

JOSEFA PARADA – SUARA TIMOR LOROSAE – 16 fevereiru 2011

DILI – Iha tempu rezistensia, Eis Presidente da Republika, Saudozu Nicolau Lobato hanorin joven no politiku sira atu pratika politika respeita malu. Infelizmente, oras ne’e politiku barak mak haluha ona dutrina ida ne’e, hodi pratika fali politika insulta malu.
Realidade ne’e sai preokupasaun boot ba Primeiru Ministru Kay Rala Xanana Gusmão, hodi responde politiku barak ne’ebe seidauk komprende diak pozisaun Estadu Timor-Leste hakotu misaun UNMIT iha tinan 2012.

Xanana relembra, uluk Nicolau Lobato gosta liu hanorin joven no politikus barak atu aprende koalia politika iha ambiente demokrasia ho diak. Lobato bandu atu labele koalia politika insulta ema seluk.

“Ita iha demokrasia ema koalia oi–oin, maibe ita nia demokrasia ne’e tenki koalia tuir Prezidente Nicolau Lobato hanorin ita katak, politiku diak ida laos politiku nebe koalia arbiru deit lor-loron,” Xanana hateten nune’e, hafoin inkontru ho Prezidente da Republika, Jose Ramos Horta, foin lalais ne’e.

Bazeia ba preokupasaun ne’e, Xefe Governu ne’e husu ba lider politikus tomak atu koalia politika ho kuidadu no labele koalia politika atu kritika no insulta fali ema seluk. “Koalia politika respeita malu, ida ne’e maka politika,” nia fo hanoin.

Atual Prezidente CNRT ne’e mos ejije ba nia kuadrus politikus CNRT tomak tenki koalia politika tuir izemplu edukasaun politika nebe hanorin ona husi Prezidente Nicolau Lobato.

“Iha hau nia partidu rasik mos hau ejije, ita tenki halo tuir Prezidente Nicolau. Entaun ita tenki kaer nia hanorin, tanba se ita koalia arbiru deit nia la gosta, maibe se ita halo tuir nia dutrina, ita sei koalia diak sai politika diak,” Xanana dehan.

Iha fatin hanesan, PR Horta hatete, lider sira tenki sukat kuandu koalia politika, atu nune’e povu labele sai vitima husi lider sira nia linguazen politika nebe la edukativu.

Horta mos husu atu ema tomak uza demokrasia tenki sukat, no labele uza demokrasia atu insulta ema seluk nia privasidade. Entretantu Deputadu Natalino dos Santos husi Bankada CNRT haktuir, dalabarak sira kritika lider balun, tanba lider balun mos sempre insulta sira. Hanesan nasaun demokratika, Timor-Leste presiza aprende buat barak atu koalia iha palku politika ne’ebe edukativu hodi nune’e la fo impaktu ba ema ou grupu seluk.

Iha parte seluk, Deputadu Mateus de Jesus konsidera preokupasaun PM Xanana nian, hanesan lisaun ba lider politikus foun no tuan atu respeita malu wainhira halo debate ruma. Ne’e signifika katak, wainhira lider politiku ida halo kritika ba servisu governu ho grupu ruma, presiza bazeia ba faktus ou evidensia ruma, atu nune’e povu tomak labele sai vitima.ego
.

Resistencia-Estrutura-e-Estrategia.

http://www.cavr-timorleste.org/chegaFiles/finalReportPort/05-Resistencia-Estrutura-e-Estrategia.pdf

TIMOR LORO SAE DA DESCOBERTA � INVAS�O INDON�SIA

TIMOR    LORO   SAE 
DA   DESCOBERTA  �  INVAS�O  INDON�SIA
Autor : A. Monge da Silva , S�cio da AMOC
 Uma comiss�o de servi�o em Timor passada na zona de fronteira de Atabai, Balib�, Bobonaro e no enclave do O�-Cussi levou-nos a conhecer e amar aquela terra distante e o seu povo, h� s�culos m�rtir de interesses que n�o os seus.

 O objectivo deste trabalho � resumir em poucas p�ginas quatro s�culos da hist�ria escrita de Timor e destina-se fundamentalmente d�-la a conhecer aos camaradas militares que connosco passaram dois inesquec�veis anos da nossa juventude.
 Desde j� adiantamos que tal hist�ria � abundante de factos pouco lisonjeiros para qualquer das partes envolvidas: Timorenses, Portugueses, Holandeses, Indon�sios, Australianos e Americanos. S�o talvez os Chineses, nas m�os de quem sempre esteve o com�rcio, o povo que menos pecados possui.


O Povo, a L�ngua e a Organiza��o
 Basicamente, o povo � uma mistura pouco homog�nea de ra�as melan�sia e malaia. H� depois muita mistura de sangue Portugu�s, Africano, Indiano(de Goa), Chin�s e outros; h� at� uma il�gica tribo ruiva.
 Migra��es de diferentes ilhas existem na mem�ria de muitos reinos sob a forma de lendas. Esta origem diversificada � tamb�m confirmada pela l�ngua. Na parte Ocidental dominam o antoni e o tetum. Na metade Oriental n�o se sabe bem quantas h� pois algumas podem ser variantes de outras, mas podemos considerar o tetum, mabai, makassi, kemak, bunac, tocodede, galoli, dagada e baikeno; e variantes como o tetum-los, tetum-teric, tetum-belu e tetum-pra�a(ou tetum-Dili), sendo este �ltimo o mais divulgado por ser o usado pelos funcion�rios administrativos.
 Nunca houve em Timor uma uni�o pol�tica no sentido ocidental. O normal era o sistema de alian�as entre reinos, consolidada por casamentos e com mais ou menos influ�ncia sobre os reinos vizinhos. No per�odo inicial da presen�a Portuguesa em Timor havia dois p�los de influ�ncia: - Os Belos (Belu) na parte Oriental e os Vaikenos (Servi�o) na parte Ocidental. A presen�a de Portugueses e Holandeses apenas veio acrescentar um elemento novo ao sistemas de alian�as.
 Cada reino � chefiado por um liurai (r�gulo na parte portuguesa e raj� na parte holandesa). Abaixo destes v�em os dados que det�m o poder religioso. A n�vel mais baixo temos os chefes de suco. As revoltas alteraram profundamente as linhas din�sticas por imposi��o de novos r�gulos mais submissos ao poder vencedor.
Ao entrar no s�culo XX os r�gulos tinham perdido todo o seu antigo poder e, praticamente, eram simples funcion�rios administrativos que cobravam os impostos e seleccionavam os escravos destinados aos trabalhos decididos pela administra��o.


A Presen�a Estrangeira
 As primeiras refer�ncias sobre Timor v�m de escritos chineses de 1225 que se referiam ao s�ndalo a� produzidos. Os Portugueses chegaram � zona em 1515, mas, s� em 1556, os frades Dominicanos fundam uma col�nia e um forte em Lamaquera nas ilhas de Solor. Posteriormente, alargam a sua influ�ncia � ilha das Flores fundando outro forte em Larantuca. Em 1642 os mesmos frades estabelecem-se em Cup�o (Kupang) na ilha de Santa Cruz, mais tarde chamada Timor.
 Formaram-se nestes fortes grandes comunidades de Portugueses mesti�os. Para al�m da "for�a do sangue" Portugu�s, havia uma pol�tica r�gia de fomento ao casamento inter ra�as; at� os misison�rios deram grande ajuda. A estes Portugueses mesti�os era dado o nome de Portugueses pretos ou topasses (do Malaio, o que fala duas l�nguas).
 Entretanto chegaram � zona os Holandeses, que tomam a ilha de Solor(1636) e a fortaleza de Cup�o em Timor(1653), ficando a ilha das Flores a ser o principal centro do com�rcio Portugu�s. Solor muda de m�o v�rias vexes. Quando em 1642 Malaca � tomada pelos Holandeses, os topasses que a� residiam estabelecem-se em Larantuca, na ilha das Flores e em Mac��ar, nas ilhas Cel�bes.
 Em 1629 s�o referenciadas em Larantuca duas importantes fam�lias topasses: A de Jan d'Hornay, desertor Holand�s, e a fam�lia Costa, que depois se mudaram para Timor e deram origem a v�rias linhagens de r�gulos.
 At� ao in�cio do s�c. XIX, a presen�a portuguesa e Holandesa estava limitada �s povoa��es costeiras com portos e fortes, nunca tendo havido uma efectiva ocupa��o do interior. Tamb�m por isso n�o havia fronteiras definidas.
 O extremo isolamento da ilha, fez com que, desde muito cedo, esta fosse usada como destino de deportados de Goa, Macau, Mo�ambique e Portugal. Muitos Governadores e funcion�rios administrativos eram deportados ou pelo indesej�veis que convinha Ter longe dos centros de decis�o pol�tica. Quando, por exemplo, o Jap�o invadiu a ilha, haviam a� 300 Portugueses da Metr�pole dos quais 100 eram deportados.


O Com�rcio
 At� final do s�c. XVII e in�cio do s�c. XVIII o com�rcio principal era o s�ndalo. Timor tinha densas florestas de s�ndalo branco, o mais valioso. O seu destino era Macau e Bat�via (Jakarta).
Os escravos eram o produto das guerras entre os diversos reinos. Foram as guerras entre os d'Horney e os Costas a principal fonte de fornecimento de escravos para Bat�via e Macau durante os s�cs. XVII, XVIII e in�cio do XIX. De destaque o com�rcio de escravos para Banda cuja popula��o os Holandeses quase exterminaram em 1621.
 No s�culo XVIII o s�ndalo estava quase extinto e Timor ficou num marasmo econ�mico, de que s� saiu ligeiramente quando, em meados do s�c. XIX, foi introduzida a planta��o industrial de caf�.
 Ao longo de todos estes s�culos , a for�a do com�rcio esteve sempre nas m�os dos Chineses, ficando reservado a Portugueses e Holandeses o papel de meros agentes alfandeg�rios.
 As receitas da Fazenda provinham de uma subven��o anual enviada por Macau, das receitas da Alf�ndega e dos impostos aos habitantes. Nestes impostos aos habitantes sempre esteve a principal origem de todas as revoltas. Inicialmente havia o sistema de fintas (impostos em g�neros), pagas r�gulos e a obriga��o destes cederem m�o de obra gratuita (corveias) para o que fosse necess�rio. A cobran�a destas fintas era muitas vezes feita com grande viol�ncia. Posteriormente passou-se � capita��o de uma Pataca por fam�lia, sendo esse valor cobrado pelo r�gulo que retinha metade da receita. N�o havia por�m maneira de saber qual era a popula��o uma vez que esta desaparecia durante os censos. Em alternativa � capita��o havia a obrigatoriedade de ceder trabalho gratuito. A pris�o com trabalhos for�ados, o chicote e as palmatuadas eram o castigo dos prevaricadores; isto at� aos nossos dias.
 No final do s�c. XIX aparece o petr�leo que � pelo menos suficiente para a ilumina��o p�blica de Dili. Ao longo do s�c. XX s�o concedidas licen�as de explora��o a v�rias companhias mas, a 2� Guerra Mundial, interrompe tudo.
S� ap�s a invas�o de 1975 � finalmente retomada a prospec��o e explora��o no denominado Timor Gap.


A Guerra Ritual (Funu). As Revoltas
 Sempre existiu em Timor um estado de guerra entre reinos com a finalidade de roubar gado, terras, mulheres, escravos e obter trofeus (leia-se as cabe�as dos vencidos).
 Os assaltos a aldeias para roubar gado, a um e outro lado da fronteira, foi um problema que se manteve pelo menos at� � data da invas�o indon�sia.
Tradicionalmente, havia formas de resolver disputas entre reinos amigos mas, se n�o eram amigos, era enviado um emiss�rio a pedir satisfa��es; se este regressava de m�os vazias dava-se in�cio � guerra. Esta come�ava por um ritual, que consistia em p�r dois grupos a grande dist�ncia disparando tiros com velhas espingardas de mecha ou pederneira at� que havia o primeiro morto ; esta fase podia levar at� um ou mais meses. Havia ent�o uma pausa em que o vencedor recolhia a cabe�a do morto e os vencidos enterravam o corpo. Come�ava depois a guerra a s�rio que s� terminava com a derrota de um dos opositores, queima de todas as cabanas, fuga, morte ou escravid�o dos derrotados e, claro, uma grande colec��o de cabe�as que ficava espetada em paus frente � casa sagrada (uma lulic) dos vencedores. A pr�tica da recolha e exibi��o das cabe�as dos vencidos foi tamb�m adoptada pelos governantes Portugueses e Holandeses at� in�cio do s�c. XX. Os Holandeses tinham mesmo uma casa em Kupang para esse fim.
 Em 1860 o Governador Afonso de Castro escrevia (...) as rebeli�es em Timor t�m sido sucessivas, podendo dizer-se que a revolta � ali o estado normal e a tranquilidade o excepcional (...).
 De 1719 a 1769 d�-se a rebeli�o de Cailaco, uma revolta de topasses contra o dom�nio Portugu�s. Os topasses com o apoio de v�rios r�gulos, entrincheiram-se nas "Pedras de Cailaco", uma fortaleza natural a 2.000 metros de altitude onde nascem os rios Lois, Marobo e Lau-Heli. Chuvas torrenciais obrigam os Portugueses a levantar o cerco mas alguns dos reis cercados aceitam a derrota, juram fidelidade e passam a pagar as fintas (impostos em g�neros).
 At� 1912 h� rebeli�es constantes contra o pagamento de impostos. Em todas elas os Portugueses, por alian�a com outros reinos, procedem a sangrentas "pacifica��es", a �ltima das quais, a de Manufai, comandada pelo liurai D. Boaventura, se traduziu em 15.000 a 25.000 mortos e � �ltima exibi��o das cabe�as dos vencidos em Dili. O c�lebre r�gulo, D. Aleixo Corte-Real alinhou ao lado de Portugal. Gago Coutinho, comandando a canhoeira P�tria deu uma importante ajuda.
 Nunca houve na ilha uma unidade �tnica e lingu�stica, nem tampouco esta possu�a escrita. Logo, n�o existia uma unidade nacional, pelo que, de uma forma simplista, se podem considerar todas estas revoltas, como revoltas locais contra a cobran�a de impostos, ou atropelo aos costumes por parte dos governantes. Excep��o, talvez, � revolta de D. Boaventura, se bem que uma das raz�es estivesse na tentativa da administra��o de passar a capita��o de uma para duas Patacas.


As Capitais: - Kupang, Lifau e Dili
 N�o h� registos seguros sobre o primeiro estabelecimento Portugu�s em Timor. H� relatos sobre a constru��o de uma igreja em Mena em 1589-90.
Em 1630 � iniciada a evangeliza��o em Seterna com o baptismo do liurai de Siliban, algures entre Batugat� e Atapupo.
 Em 1642 os frades Dominicanos constr�em uma fortaleza rudimentar em Cup�o (Kupang). Em 1647 inicia-se a constru��o de um verdadeiro forte; � o primeiro estabelecimento militar Portugu�s em Timor, situado no melhor porto da ilha; em 1649, � comandado pelo Capit�o-Mor Francisco Carneiro. Em 1653 � tomado pelos holandeses e rebaptizado com o nome de Forte da Conc�rdia.
 Na sequ�ncia da Revolu��o do 1� de Dezembro de 1640 termina tamb�m a guerra com os holandeses; teoricamente apenas, pois, s� em 1661, � assinado o Tratado de Haia que estabelece que cada pot�ncia ficava com os territ�rios que j� controlava em Solor, Flores e Timor.
 Lifau torna-se ent�o o porto principal dos Portugueses. As tentativas para estabelecer a� uma governa��o, s�o por�m goradas pelo liurai Domingos da Costa que expulsa o primeiro governador em 1697, prende o segundo e reenvia-o para Macau.
 De 1673 a 1690 Solor, Flores e Timor s�o na realidade governados por um pr�ncipe independente, Ant�nio d'Horney que reconhece a soberania portuguesa mas n�o lhe obedece. Em 1690 � Domingos da Costa que toma o seu lugar, passando os d'Horney para r�gulos do O�-Cussi.
 S� por volta de 1702 Lifau passa a ser governada com mais rigor com a constru��o de um forte quadrangular de pedra solta com quatro baluartes e nove pe�as de artilharia, a Ermida de Santo Ant�nio, um hospital e, posteriormente, um semin�rio.
 Mas Lifau esteve sempre em guerra com o reino do O�-Cussi. Em 1734, s� a providencial chegada de um novo governador com refor�os adia o j� planeado abandono do forte. Em 1769, o liurai Francisco d'Horney, ataca de novo o forte e for�a o seu abandono e transfer�ncia da capital para Dili.
 Na praia (pantai em Malaio), poucos quil�metros a este de Lifau, vivia uma numerosa popula��o Mac��ar. Ap�s o abandono de Lifau � esta popula��o que d� origem � actual Pante Macassar. Mais tarde � a� constru�do um forte.
 Para al�m de um melhor porto, Dili tinha melhores condi��es defensivas pois estava situada numa vasta plan�cie pantanosa onde se podiam cultivar alimentos para a popula��o. � no entanto um foco de mal�ria e paludismo que v�tima quem l� se atreve a viver.


A Divis�o Territorial
 Merc� da rivalidade entre Holandeses e Portugueses a situa��o no in�cio do s�c. XIX � esta: - Portugal est� instalado em Solor, em parte das Flores e em Timor onde os Holandeses apenas controlam Kupang e reinos lim�trofes; Portugal tem ainda pequenas feitorias em diversas ilhas que reconhecem a soberania portuguesa. Em 1818, por press�o de mercadores chineses que n�o concordavam com os impostos � importa��o e exporta��o de mercadorias atrav�s de Atapupo, os Holandeses tomam este porto situado a oeste de Batugad�. V�rias dilig�ncias diplom�ticas d�o raz�o aos Holandeses.
 Em 1847, o r�gulo do O�-Cussi, descendente dos d'Hornay, envolve-se em disputa com Kupang ao reclamar territ�rios que os Holandeses consideravam seus. O Governador Silva Vieira diz ent�o que "considera portugueses os territ�rios que arvorassem a bandeira portuguesa e holandeses os que arvorassem a holandesa".
 Em 1850, mant�m-se as disputas envolvendo os Minist�rios dos Neg�cios Estrangeiros de ambos os pa�ses. Em 1851, chega a Timor o Governador Lopes Lima que � pouco depois demitido e nomeado comiss�rio paras as negocia��es com os holandeses. Lopes de Lima estava por�m envolvido em corrup��o e neg�cios pouco claros o que lhe limitava o poder negocial. O r�gulo de Larantuca nas Flores era visitado por Dili duas vezes por ano e estava ligado aos piratas beguineses. As rela��es com as outras ilhas eram ainda mais fracas. Excedendo os seus poderes, cedeu aos Holandeses Larantuca nas Flores e as ilhas de Solor. Em troca Portugal recebia 80.000 Florins. O Governo Portugu�s repudiou a divis�o e, em 1852, prendeu Lopes de Lima. Tamb�m n�o recebeu os 80.000 Florins. O tratado ficava sem efeito mas, na realidade, os Holandeses ficavam com as Ilhas das Flores e de Solor.
 Em 1858, Portugal prop�e-se ficar com toda a ilha de Timor e dar em troca os direitos sobre todas as outras ilhas mais um territ�rio em �frica. Infelizmente para os Timorenses os Holandeses n�o aceitaram.
Em 1860, pelo Tratado de Lisboa, � feita nova partilha: Portugal ficava com o enclave do O�-Cussi e a Holanda com os de Maucatar e Atapupo. Portugal cedia os enclaves na ilha das Flores e abandonava pretens�es sobre v�rias ilhas. Em troca recebia 200.000 Florins. Todas estas trocas foram feitas � revelia da popula��o local causando-lhes imensos problemas. Nas Flores, por exemplo, s� em 1905 � que os holandeses conseguiram debelar a rebeli�o resultante da divis�o. � tamb�m nesta data que Portugal ocupa militarmente a ilha de Ata�ro.
 Ficava o eterno problema dos enclaves e, em 1904, era feita nova divis�o: Portugal cedia os distritos de fronteira de Tahakay, Tamira-Ailala, Maubessi, Maoe-Boesa e Lamaras em troca de Maucatar, ficando assim estabelecida a divis�o actual. S� em 1910 os Holandeses terminam a pacifica��o resultante destas divis�es.
 Em 1909 h� ainda disputas no O�-Cussi devido a problemas de fronteira em Noimuti e Bikume; � quando o liurai do O�-Cussi prende um chefe Toenbaba.
Em 1911 Portugueses e Holandeses chegam a vias de facto. Portugal � derrotado e, pelas notas posteriores trocadas entre Lisboa e Haia, fica acordado que tudo fica como negociado em 1904. At� finais de 1911 mant�m-se algumas escaramu�as no O�-Cussi que originam um �xodo de 500 refugiados para o territ�rio Holand�s. Estas fronteiras mantiveram-se intactas at� 1975.


O S�culo XX
 Em 1941, na sequ�ncia da 2� Guerra Mundial, Timor � invadido por tropas Australianas com o protesto do Governo Portugu�s. Fontes Japonesas consideram que n�o foi uma invas�o e que o Governador pactua com os Australianos. Os Japoneses, j� estabelecidos na parte Holandesa da ilha, formam as denominadas "Colunas Negras", constitu�das por Timorenses de ambos os lados que atacam postos administrativos e causam a morte a v�rios soldados e funcion�rios Portugueses. Estas lutas, apesar de instigadas pelos Japoneses, s�o ainda o reflexo de antigas rebeli�es como a de Manufai.
 Em 1942, os Japoneses invadem Timor onde ficam algumas companhias Australianas que lhes d�o luta. Umas vezes com a hostilidade, mas sobretudo com o apoio das popula��es, estas companhias mant�m-se no territ�rio at� Dezembro de 1943. As "Colunas Negras", bra�o armado dos Japoneses, semeiam o terror entre a popula��o civil at� final da ocupa��o. O R�gulo D. Aleixo Corte-Real lidera uma importante revolta. Cercado pelas "Colunas Negras", posteriormente ajudadas pelas tropas Japonesas e j� sem muni��es, � finalmente capturado e morto. Estranhamente, ap�s quase tr�s anos de ocupa��o, n�o h� mesti�os Japoneses.
 Em 1945, apesar da hostilidade da Austr�lia que quer reocupar Timor, as tropas Japonesas rendem-se a Portugal depois de longas negocia��es internacionais. Portugal jogou nesta negocia��o o seu "joker" que foi a ced�ncia da base a�rea dos A�ores aos Estados Unidos. Finalizada a guerra, Timor n�o consegue qualquer repara��o do Jap�o sob o argumento de que Portugal n�o entrara na guerra.
 Inicia-se ent�o uma lenta recupera��o econ�mica do territ�rio mas n�o � feito grande investimento na educa��o. S� em 1952 � inaugurado um liceu em Dili.
 Em 1957, na sequ�ncia das pretens�es de Sukarno � parte da Nova Guin� ainda na posse dos Holandeses, levantaram-se d�vidas sobre se depois n�o iria tamb�m exigir o Born�u Brit�nico e o Timor Portugu�s ao que este teria respondido que n�o, e que tinha at� muito boas rela��es com os funcion�rios Portugueses de Timor. Prova-o durante a revolu��o comunista de 1960 em que Portugal devolveu � Indon�sia todos os supostos comunistas que procuravam ref�gio em Timor Oriental e que eram fuzilados � vista logo que passavam a fronteira.
 Em 1959 h� mais uma revolta em Viqueque instigada por oficiais indon�sios refugiados que Portugal autorizara a estabelecerem-se em Uatolari no distrito de Viqueque. Estes oficiais pertenciam ao movimento dissidente indon�sio Permesta e tinham o apoio da CIA americana. Exacerbando o car�cter tribal da revolta, o governador consegue formar uma mil�cia em Los Palos e esmagar a revolta numa semana sangrenta em que morreram 500 a 1.000 pessoas.
 Na sequ�ncia desta revolta � refor�ada a seguran�a do territ�rio e a PIDE passa a exercer um apertado controle sobre potenciais dissidentes. O controle era f�cil pois, dado que a educa��o nunca foi uma prioridade do governo da col�nia, o seu n�mero era baixo. Ramos Horta foi um dos controlados pela PIDE e exilado para Mo�ambique.
 Apesar disso h�, a partir desta data, um refor�o na educa��o com a forma��o de um Magist�rio Prim�rio em Dili, escolas t�cnicas em v�rias localidades e in�meras escolas prim�rias dirigidas pela Administra��o, pela Igreja e pelo Ex�rcito. Em 1973-74 havia 77% da popula��o em idade escolar a frequentar os v�rios graus de ensino. O grau de forma��o dos professores era normalmente baixo, mas melhor que nada; havia apenas 16 professores metropolitanos com forma��o apropriada. Alguns privilegiados conseguiam uma licenciatura na metr�pole mas, o controle da PIDE, permitia que apenas poucos regressassem a Timor; o normal era uma carreira noutra col�nia.
 Em 1974 d�-se em Portugal a Revolu��o de Abril. Uma das palavras de ordem era: - "Nem mais um soldado para as col�nias!". Aliado a isto houve uma grande pressa na descoloniza��o e um grande vanguardismo de esquerda.
Timor n�o estava preparado:- N�o tinha quadros pol�ticos, nem administrativos nem militares; ao passar o poder nos quart�is para o mais graduado Timorense, este foi entregue a furri�is e sargentos, alguns quase analfabetos, de l�grimas nos olhos, uns por orgulho, outros por terem consci�ncia que n�o estavam � altura da responsabilidade.
 Depois houve o c�nico contexto internacional:- O mar a Sul de Timor era o corredor de passagem dos submarinos nucleares americanos e estes n�o queriam uma nova Cuba. Para azar dos Timorenses havia petr�leo e, como dizem os nossos irm�os brasileiros, "Pobre n�o pode ter petr�leo"; aqui prevaleceu o interesse dos australianos que j� tinham acordos de explora��o com a metade Ocidental da ilha. O Ministro dos Neg�cios Estrangeiros Indon�sio, Adam Malik, avisou Portugal de que n�o devia abandonar o territ�rio.
Na v�spera da invas�o, Gerald Ford e Henry Kissinger, Presidente e Secret�rio de Estado dos Estados Unidos visitam Jakarta e d�o o seu aval � invas�o.
Iniciava-se mais um per�odo negro da hist�ria deste martirizado povo.
S� a Austr�lia e os Estados Unidos reconhecem a integra��o de Timor Loro Sae na Indon�sia.


Bibliografia

Ara�jo, Abilio        "Os Loricos Voltaram a Cantar: Das Guerras Independentistas � Revolu��o do Povo Maubere". Lisboa 1977
Brand�o, Carlos   "Funu (Guerra em Timor)". Edi��es AOV, 1946
Duarte, Te�filo     "Timor: Ante C�mara do Inferno ?". Lisboa 1930
Gra�a, Maria da    "Timor entre Invasores, 1941-1945". Livros Horizonte, Lisboa 1989
Gunn, Geoffrey C.  "Timor Loro Sae, 500 anos". Livros do Oriente 1999
Leit�o, Humberto  "O R�gulo Timorense D.Aleixo Corte-Real". Edi��o do Corpo de Estudos da Hist�ria da Marinha, 1979
                          "Os Portugueses em Solor e Timor de 1515 a 1702". Tipografia LCGG, Lisboa 1948
   

Sejarah & Perkembangan Keperawatan di Dunia



Sejarah keperawatan di dunia diawali pada zaman purbakala (PrimitiveCulture) sampai pada munculnya Florence Nightingale sebagai peloporkeperawatan yang berasal dari Inggris.Perkembangan keperwatan sangat dipengaruhi oleh perkembangan strukturdan kemajuan peradaban manusia.Perkembangan keperawatan diawali pada :

1.Zaman Purbakala (Primitive Culture)
Manusia diciptakan memiliki naluri untuk merawat diri sendiri(tercermin pada seorang ibu). Harapan pada awal perkembangankeperawatan adalah perawat harus memiliki naluri keibuan (MotherInstinc). Dari masa Mother Instic kemudian bergeser ke zaman dimanaorang masih percaya pada sesuatu tentang adanya kekuatan misticyang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan inidikenal dengan nama Animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnyaseseorang disebabkan karena kekuatan alam/pengaruh gaib sepertibatu-batu, pohon-pohon besar dan gunung-gunung tinggi.Kemudian dilanjutkan dengan kepercayaan pada dewa-dewadimana pada masa itu mereka menganggap bahwa penyakitdisebabkan karena kemarahan dewa, sehingga kuil-kuil didirikansebagai tempat pemujaan dan orang yang sakit meminta kesembuhandi kuil tersebut. Setelah itu perkembangan keperawatan terus berubahdengan adanya Diakones & Philantrop, yaitu suatu kelompok wanitatua dan janda yang membantu pendeta dalam merawat orang sakit,sejak itu mulai berkembanglah ilmu keperawatan.

2. Zaman Keagamaan
Perkembangan keperawatan mulai bergeser kearah spiritualdimana seseorang yang sakit dapat disebabkan karena adanyadosa/kutukan Tuhan. Pusat perawatan adalah tempat-tempat ibadahsehingga pada waktu itu pemimpin agama disebut sebagai tabib yangmengobati pasien. Perawat dianggap sebagai budak dan yang hanyamembantu dan bekerja atas perintah pemimpin agama.

3. Zaman Masehi
Keperawatan dimulai pada saat perkembangan agama Nasrani,dimana pada saat itu banyak terbentuk Diakones yaitu suatu
organisasi wanita yang bertujuan untuk mengunjungi orang sakitsedangkan laki-laki diberi tugas dalam memberikan perawatan untukmengubur bagi yang meninggal.Pada zaman pemerintahan Lord-Constantine, ia mendirikanXenodhoecim atau hospes yaitu tempat penampungan orang-orangsakit yang membutuhkan pertolongan. Pada zaman ini berdirilahRumah Sakit di Roma yaitu Monastic Hospital.
4. Pertengahan abad VI Masehi
Pada abad ini keperawatan berkembang di Asia Barat Daya yaituTimur Tengah, seiring dengan perkembangan agama Islam. Pengaruh agama Islam terhadap perkembangan keperawatan tidak lepas darikeberhasilan Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam.Abad VII Masehi, di Jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuanseperti Ilmu Pasti, Kimia, Hygiene dan obat-obatan. Pada masa inimulai muncul prinsip-prinsip dasar keperawatan kesehatan sepertipentingnya kebersihan diri, kebersihan makanan dan lingkungan.Tokoh keperawatan yang terkenal dari Arab adalah Rufaidah.

5. Permulaan abad XVI
Pada masa ini, struktur dan orientasi masyarakat berubah dariagama menjadi kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan dansemangat kolonial. Gereja dan tempat-tempat ibadah ditutup, padahaltempat ini digunakan oleh orde-orde agama untuk merawat orangsakit. Dengan adanya perubahan ini, sebagai dampak negatifnya bagikeperawatan adalah berkurangnya tenaga perawat. Untuk memenuhikurangnya perawat, bekas wanita tuna susila yang sudah bertobatbekerja sebagai perawat. Dampak positif pada masa ini, denganadanya perang salib, untuk menolong korban perang dibutuhkanbanyak tenaga sukarela sebagai perawat, mereka terdiri dari orde-ordeagama, wanita-wanita yang mengikuti suami berperang dan tentara(pria) yang bertugas rangkap sebagai perawat.Pengaruh perang salib terhadap keperawatan :
2
 
a. Mulai dikenal konsep P3K b. Perawat mulai dibutuhkan dalam ketentaraan sehingga timbulpeluang kerja bagi perawat dibidang sosial.Ada 3 Rumah Sakit yang berperan besar pada masa itu terhadapperkembangan keperawatan :
1.
Hotel Dieu di Lion
Awalnya pekerjaan perawat dilakukan oleh bekas WTS yangtelah bertobat. Selanjutnya pekerjaan perawat digantikan olehperawat terdidik melalui pendidikan keperawatan di RS ini.

2. Hotel Dieu di Paris
Pekerjaan perawat dilakukan oleh orde agama. Sesudah RevolusiPerancis, orde agama dihapuskan dan pekerjaan perawat dilakukanoleh orang-orang bebas. Pelopor perawat di RS ini adalahGenevieve Bouquet.

3. ST. Thomas Hospital (1123 M)
Pelopor perawat di RS ini adalah Florence Nightingale (1820).Pada masa ini perawat mulai dipercaya banyak orang. Pada saatperang Crimean War, Florence ditunjuk oleh negara Inggris untukmenata asuhan keperawatan di RS Militer di Turki. Hal tersebutmemberi peluang bagi Florence untuk meraih prestasi dan sekaligusmeningkatkan status perawat. Kemudian Florence dijuluki dengannama “ The Lady of the Lamp”.

6. Perkembangan keperawatan di Inggris
Florence kembali ke Inggris setelah perang Crimean. Pada tahun1840 Inggris mengalami perubahan besar dimana sekolah-sekolahperawat mulai bermunculan dan Florence membuka sekolah perawatmodern. Konsep pendidikan Florence ini mempengaruhi pendidikankeperawatan di dunia.Kontribusi Florence bagi perkembangan keperawatan a. l :a. Nutrisi merupakan bagian terpenting dari asuhan keperawatan.b. Okupasi dan rekreasi merupakan terapi bagi orang sakitc. Manajemen RSd. Mengembangkan pendidikan keperawatane. Perawatan berdiri sendiri berbeda dengan profesi kedokteranf. Pendidikan berlanjut bagi perawat.
3
 
Sejarah dan Perkembangan Keperawatan diIndonesia
Sejarah dan perkembangan keperawatan di Indonesia dimulai padamasa penjajahan Belanda sampai pada masa kemerdekaan.
1. Masa Penjajahan Belanda
Perkembangam keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisisosial ekonomi yaitu pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggrisdan Jepang. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawatberasal dari penduduk pribumi yang disebut Velpeger dengan dibantuZieken Oppaser sebagai penjaga orang sakit.Tahun 1799 didirikan rumah sakit Binen Hospital di Jakarta untukmemelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintahkolonial Belanda pada masa ini adalah membentuk Dinas KesehatanTentara dan Dinas Kesehatan Rakyat. Daendels mendirikan rumahsakit di Jakarta, Surabaya dan Semarang, tetapi tidak diikutiperkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya hanya untukkepentingan tentara Belanda.
2. Masa Penjajahan Inggris (1812 – 1816)
Gurbernur Jenderal Inggris ketika VOC berkuasa yaitu Raffles sangatmemperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitukesehatan adalah milik manusia, ia melakukan berbagai upaya untukmemperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara lain :- pencacaran umum- cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa- kesehatan para tahananSetelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatanpenduduk lebih maju. Pada tahun 1819 didirikan RS. Stadverband diGlodok Jakarta dan pada tahun 1919 dipindahkan ke Salemba yaitu RS.Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tahun 1816 – 1942 berdiri rumah sakit –rumah sakit hampir bersamaan yaitu RS. PGI Cikini Jakarta, RS. STCarollus Jakarta, RS. ST. Boromeus di Bandung, RS Elizabeth diSemarang. Bersamaan dengan itu berdiri pula sekolah-sekolahperawat.
4
 
3. Zaman Penjajahan Jepang (1942 – 1945)
Pada masa ini perkembangan keperawatan mengalamikemunduran, dan dunia keperawatan di Indonesia mengalami zamankegelapan. Tugas keperawatan dilakukan oleh orang-orang tidakterdidik, pimpinan rumah sakit diambil alih oleh Jepang, akhirnyaterjadi kekurangan obat sehingga timbul wabah.
4. Zaman Kemerdekaan
Tahun 1949 mulai adanya pembangunan dibidang kesehatan yaiturumah sakit dan balai pengobatan. Tahun 1952 didirikan Sekolah GuruPerawat dan sekolah perawat setimgkat SMP. Pendidikan keperawatanprofesional mulai didirikan tahun 1962 yaitu Akper milik DepartemenKesehatan di Jakarta untuk menghasilkan perawat profesional pemula.Pendirian Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) mulai bermunculan, tahun1985 didirikan PSIK ( Program Studi Ilmu Keperawatan ) yangmerupakan momentum kebangkitan keperawatan di Indonesia. Tahun1995 PSIK FK UI berubah status menjadi FIK UI. Kemudian muncul PSIK-PSIK baru seperti di Undip, UGM, UNHAS dll.
*** Selesai ***